Image generated by TextSpace.net, hosted on ImageShack.us

19 Jan 2012

BUNG KARNO : 100 Tahun dalam Sunyi



BUNG KARNO : 100 Tahun dalam Sunyi

TANPA banyak diketahui orang, pasca-peristiwa Gerakan 30 September, Bung Karno telah 103 kali menyampaikan pidato politik. Pada Agustus lalu, sebagian pidato itu diterbitkan dalam dua jilid buku berjudul Revolusi Belum Selesai.

Lebih dari sekadar menggambarkan pembelaan Bung Karno atas berbagai tudingan, pidato itu juga melukiskan kesunyian seorang Bung Besar. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api: membuncah lalu hilang bersama malam.

Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez: lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian.

Istana Merdeka, Jakarta, 13 September 1966. Hari itu, Bung Karno berpidato di hadapan anggota Angkatan 1945. Nadanya berapi-api, mimik dan gerak tubuhnya membakar. Pada menit-menit pertama ia tampil prima. Memasuki setengah jam kedua, ia mulai kehilangan kepercayaan diri. Suaranya memang masih keras membahana, tapi isi pidatonya menunjukkan ia sedang tak yakin. "He, wartawan, (bagian) ini jangan dimasukkan. Cuma untuk inside information," katanya.

Kabar yang disembunyikannya itu adalah sinyalemen tentang KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)—organisasi mahasiswa yang kukuh menyelenggarakan demonstrasi terhadap Presiden pasca-tragedi Gerakan 30 September—yang kesusupan preman-preman. "Cobalah. Tempo hari, pada waktu anak KAMI datang ke sini, saya juga berkata, KAMI itu bukan saja menggedor, menjebloskan ban, tapi juga kadang-kadang masuk rumah tangga orang, merampas ya arloji, ya uang, dan lain-lain. Apa dijawab waktu itu, jawabnya Cosmas Batubara (salah seorang pimpinan mahasiswa—Red.), KAMI diselundupi, Pak," kata Bung Karno mengutip.

Pada bagian yang lain Sukarno berkisah. "Pak Dasaad (pengusaha—Red.) pada suatu malam didatangi, boleh dikata, penyelundup. Pak Dasaad tak ada, Bu Dasaad ada di rumah.... Bu Dasaad bukan main beraninya didatangi pemuda-pemuda itu. Mau apa? (tanya Ny. Dasaad). Ini auto (mobil) kami ambil. Bu Dasaad (bilang) begini. Apa ini auto punya nenek lu? Pergi lu. Anak anak itu kena gertak mundur...," cerita Bung Karno.

Tetapi tak lama, Sukarno kembali gentar. "Jangan tulis, ya. Kalau tulis, saya tabokin kamu orang," katanya kembali mengancam wartawan yang hadir.

Tak biasanya Presiden Sukarno takut pada pers. Sepanjang sejarah Sang Pemimpin Besar Revolusi, tak pernah ia gentar pada materi pidatonya sendiri. "Seorang presiden yang pernah lantang berpidato di PBB saat itu begitu ciut nyalinya," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam.

Pidato itu memang diucapkan Bung Karno pada hari-hari terakhir kekuasaannya. Setelah peristiwa G30S, praktis Sukarno tak lagi memiliki kesempatan berpidato di depan umum. Ia diasingkan dari publik, dan ruang geraknya dibatasi.

Tapi, tanpa banyak diketahui orang, sejak 30 September 1965 hingga 19 Januari 1967—masa ketika Sukarno menyampaikan pidato pelengkap Nawaksara yang menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama—Sukarno telah menyampaikan 103 pidato. Umumnya berisi pembelaan dirinya atas peristiwa G30S. Juga jawaban atas remuknya ekonomi Indonesia dan argumentasi mengapa ia tak juga mau membubarkan PKI, organisasi yang dituding tentara berada di balik prahara 30 September.

Selama hampir 40 tahun, tak banyak yang tahu tentang rangkaian pidato itu. Hingga Agustus lalu, 61 pidato Bung Karno itu diterbitkan dalam dua jilid buku berjudul Revolusi Belum Selesai.

Lalu orang terhenyak: betapa masa yang kurang dari dua tahun itu begitu menyakitkan bagi seorang Bung Karno. Pidatonya tak digubris, perintahnya dianggap angin lalu. Berulang-ulang, dalam berbagai kesempatan ia berkata, "I am still president, still Supreme Commander of The Arm Forces", "Kerjakan komandoku", "Jangan jegal perintah saya", "Jangan saya dikentuti".

Buku ini memang menyimpan masa-masa sulit seorang Bung Besar. Tragedi G30S dan ekonomi Indonesia yang remuk karena inflasi hingga 600 persen membuat wibawa presiden tersungkur. Mahasiswa turun ke jalan. Hadely Hasibuan, yang diangkat Sukarno menjadi Menteri Penurunan Harga, tak mampu berbuat banyak.

Angkatan Darat menguasai semua lini. Selama sepekan, pers Indonesia dilarang terbit kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha—dua koran yang dikendalikan tentara. Ketika itulah, juga setelahnya, propaganda tentara bekerja. Pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya disebut juga disertai pemotongan kemaluan dan pencungkilan mata. Untuk hal ini Sukarno memberikan kesaksian. "Tak ada kemaluan yang dipotong. Saya melihat visum et repertum. Tak ada pencungkilan mata. Yang disebut alat pencungkil mata itu nyatanya hanya alat penderas karet," kata Bung Karno pada 13 Desember 1965 di depan para gubernur se-Indonesia.

Sukarno memang terkesan berhati-hati dalam memberikan penilaian terhadap G30S. Peran PKI dalam peristiwa berdarah itu, misalnya, berkali-kali dibantahnya. Ia tak menolak ada petinggi PKI yang terlibat, tapi ia tak ingin PKI—sebagai salah satu pilar Nasakom—ditutup.

Ia bahkan jengkel ketika mahasiswa menuduh kabinet Dwikora yang dipimpinnya adalah kabinet Gestapu. "Saya bertanya, Mursyid (salah seorang menteri—Red.), apakah kau komunis? Bukan! Hartono, engkau komunis? Bukan! Sjafei, engkau komunis? Bukan! Basuki Rachmat, engkau komunis? Bukan! Orang di luar yel-yelkan kabinet ini kabinet Gestapu! Aku berkata, ini kip zonder kop, ayam yang tidak berkepala!" teriak Si Bung.

Terhadap pengalihan kekuasaan melalui Surat Perintah 11 Maret berulang-ulang ia menegaskan. "Ini saya terangkan begini, Saudara-saudara, apalagi pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. It is not a transfer of authority kepada General Suharto. Ini sekadar perintah kepada Suharto untuk menjamin jalannya pemerintahan untuk ini, untuk itu, untuk itu."

Demo mahasiswa yang menyebut Bung Karno hanya mendahulukan proyek mercu suar—antara lain Monumen Nasional (Monas) dan planetarium di Taman Ismail Marzuki—dibantahnya dengan mulut yang pedas. "Monumen itu celana. Celana bagi bangsa yang sedang melakukan revolusi. Makanan jiwa agar rakyat berkobar semangatnya. Manusia tidak bisa hidup dari nasi dan roti tok!" Ia juga membela pembangun pusat belanja Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta, yang oleh demonstran dituding foya-foya. "Sarinah dapat berperan sebagai stabilisator harga. Sarinah-sarinah harus dibangun di seluruh Indonesia!" katanya.

Hampir semua pidato Bung Karno disampaikan tanpa teks: mengalir begitu saja, seenaknya, urakan, dan karena itulah semua letupan emosi dengan mudah dapat terekam. Dalam suatu pidato, mungkin karena jengkel, ia bahkan tak segan menyebut kemaluan pria dalam bahasa yang paling telanjang.

Sesekali ia nyinyir terhadap pers yang kerap salah mengutip ucapannya. Ketika memberikan pengantar saat mengumumkan perombakan Kabinet Dwikora, 12 Februari 1966, ia berceloteh. "Insya Allah, saya akan mengumumkan susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Disempurnakan dalam bahasa Inggris dikatakan reshuffle. Reshuffle itu ditulis ffle. (Koran) Api Pantjasila menulisnya ffel. Itu salah. Mana Api Pantjasila? Reshuffling kabinet ini tidak sebagai hasil tuntutan dari KAMI seperti ditulis Api Pantjasila. Sejak lama saya telah bermaksud mengadakan reshuffling kabinet. Tapi keadaan belum saya anggap tepat, sesuai, dan tenang...."

Kali yang lain ia marah meledak. Di hadapan anggota Golongan Karya di Istana Bogor 11 Desember 1965, ia merasa dikerjain karena jadwal pertemuan molor satu jam dari waktu yang ditentukan. Alasan panitia karena Rapat Kerja Golkar selesai juga terlambat. Si Bung meluap: "Inikah Golongan Karya? Inikah yang dinamakan menjunjung tinggi, patuh pada Kepala Negara, Presiden? Saya marah. ... Presiden satu jam menunggu.... Inlander kamu orang sekalian!"

Menurut Asvi, rentetan pidato Bung Karno dalam Revolusi Belum Selesai yang disusun secara kronologis menggambarkan gradasi suasana psikologis Sang Presiden. Pada pekan-pekan pertama setelah G30S meletus, Bung Karno masih berpidato dengan komando-komando ala seorang Pemimpin Besar Revolusi. Tapi belakangan, terutama dalam pidato pelengkap Nawaksara, pada 10 Januari 1967, yang memastikan ia kehilangan kekuasaannya, irama pidatonya makin tak bertenaga. "Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan jawab atas peristiwa G30S yang saya namakan Gestok (Gerakan 1 Oktober) itu? Kalau bicara tentang kebenaran dan keadilan, maka saya pun minta kebenaran dan keadilan! Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan di bidang ekonomi?"

Saking frustrasinya menghadapi keadaan, pernah pula Bung Karno ngambek tak mau berpidato. "Itu terjadi pada Mei 1966," kata Asvi. Satu-satunya pidato yang ia lakukan pada bulan itu adalah ketika menghadiri upacara kenaikan pangkat Panglima Angkatan Udara Komodor Udara Roosmin Nurjadin, 29 Mei 1966. Pidato itu pun ia mulai dengan ucapan yang asam. "Saya tak akan memberikan amanat yang panjang-panjang. Saya akan diam saja lebih dahulu. Saya akan tutup mulut," katanya.

Bulan berikutnya, ketika melantik ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, 15 Juni 1966, ia kembali mengulangi. "Saya tutup mulut seribu bahasa," katanya.

Sukarno mungkin tahu, ucapannya tak punya manfaat apa-apa lagi. Meski demikian, gelombang aksi pendukung Sukarno bukan tak ada. Sekitar 92 menteri, misalnya, menyatakan kesetiaannya kepada Sukarno pada 20 Januari 1966. Bulan berikutnya diadakan rapat raksasa kesetiaan kepada Pemimpin Besar Revolusi di Bandung. Pada 10 Maret 1966 sejumlah organisasi massa menyatakan kebulatan tekad mendukung Presiden.

Tapi sia-sia. Senja kala kekuasaan Presiden sudah tiba. Pidato pertanggungjawaban Bung Karno ditolak MPRS, dan sejak itu absahlah sudah upaya Orde Baru memberangus kemerdekaan Sang Orator. Ia sakit, lunglai, dan pada Juni 1970 ia wafat. Seratus tahun kesunyiannya pun berakhir.

Tidak ada komentar: