Image generated by TextSpace.net, hosted on ImageShack.us

23 Jan 2012

Sukarno Pancasila (1945)


Petikan ini berasal dari Lahirnya Pancasila, suatu pidato yang disampaikan secara spontan pada 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan, yang didirikan oleh pemerintah Jepang bulan Maret sebelumnya. Pancasila, yang untuk pertama kalinya diungkapkan dalam pidato ini, kemudian tertulis dalam Mukaddimah UUD 1945 dan diterima sebagai landasan falsafah negara Indonesia. Salah satu usaha keras Sukarno pada waktu itu adalah menentang gagasan didirikannya negara Islam (lihat IVc, Ve, VId serta pengantar untuk Bab VI).
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu.” Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir de’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarin pun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”-nya dan perasaan orangnya, “l’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah-air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “ kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “golfbreker” atau pengadang gelombang lautan Pacific adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Sorang anak kecil pula dapat pula mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekeland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat , bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, anatara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup ”le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer ”aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara Bangsa Indonesia, yang paling ada ”desir d’etre ensemble”adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2½ milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa ”le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan ”le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan ”le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau–pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada ”le desir d’etre ensemble” sudah terjadi ”Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
Ke sinilah kita semua harus menuju : mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan ”golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen , bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punyab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, buka kebagsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. . . .
Saudara-saudara. Tetapi . . . tetapi . . . memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berpaham ”Indonesia uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: ”Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan”. ”My nationalism is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan ”Deutschland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru ”bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justeru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofich principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan ”internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggeris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ” semua buat semua”, ”satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam — maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama- ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil — fairplay! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira di dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Taala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. . . . Jangan saudara kita, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justeru kaum kapitalismerajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum Kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politieke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid — tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. ”Di dalam Parlementaire Democtarie”, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama. Hak politiek yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih. Tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi:
”Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik — sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan : Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu-Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip-prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid. Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara di dalam badan permusyawaratan. . . .
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhan-nya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendakya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ”egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi perkerti yang luhur, Ketuhanan hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pengakuan asas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! ”Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya . Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip : kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi — saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa — namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ”perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politieke democratiedengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-national-isme, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia —semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ”Gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
”Gotong Royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari ”kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar yang diawali dengan kalimat-kalimat di bawah ini, disahkan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah negara Republik Indonesia diproklamasikan. Pancasila tercantum di sini dalam alineanya yang terakhir.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh sebab itu, makan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakkan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia uang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalan suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Manifesto Politik November 1945
Di bawah ini adalah kutipan dari Manifesto Politik yang dipersiapkan oleh beberapa pemimpin pemerintah dari Republik baru itu, disahkan oleh Badan Pekerja Panitia Nasional Pusat atau Parlemen, dan disiarkan pada 1 November 1945 dengan tanda tangan Wakil Presiden Moh. Hatta. Ini merupakan salah satu transformasi politik penting di mana kepemimpinan kabinet diserahkan dari Presiden Sukarno kepada Soetan Sjahrir, yang mulai saat itu menjadi ketua Badan Pekerja Parlemen, yang menyandang jabatan baru sebagai Perdana Menteri. Isi selengkapnya dalam bahasa Inggeris terdapat dalam Illustrations of the Indonesian Revolution (Jakarta, Departmen Penerangan, 1963).

Setelah lebih dari dua bulan lamanya kita dengan berbagai-bagai jalan menyatakan hendak hidup sebagai bangsa yang merdeka, pada saat kita menghadapi suasana baru di dalam perjuangan kemerdekaan kita, pada saat dunia mendekati kita untuk memandang lebih teliti dari dan pendirian kita, perlu kita maju ke muka dengan wajah yang bersih dan dada terbuka, menunjukkan kebenaran kita yang tidak saja berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan melainkan pasti juga berdasarkan atas akal serta perhitungan yang sehat.
Setelah pemerintah Belanda di Indonesia pada 9 Maret 1942 menyerah kepada militer Jepang di Bandung dengan hampir sama sekali tiada mengadakan perlawanan, maka tinggallah bangsa kita yang tiada bersenjata menjadi umpan militerisme Jepang yang keras dan kejam itu. Tiga setengah tahun lamanya rakyat kita menderita paksaan dan kekejaman Jepang, seperti belum pernah dialaminya di zaman penjajahan Belanda berpuluh tahun yang terkemudian. Seluruh rakyat kita diperbuat seolah-olah barang yang murah diboroskan di dalam peperangan. Dari rakyat jelata yang diperbudak dengan kerja paksa dan hasil buminya dirampas, sampai ke kaum terpelajar yang dipaksa berdusta dan menipu rakyat, merasagenggaman militerismenya . Kesengsaraan rakyat kita lahir dan batin di dalam tiga setengah tahun ini boleh dikatakan tak terbatas. Seluruh rakyat kita dipaksa berbaris dan tahu menerima perintah secara militer. Kepintaran militer inilah yang ditinggalkan oleh penjajah Jepang sebagai jejak di dalam jiwa rakyat dan terutama di dalam jiwa pemuda kita.
Tanggungan penjajahan Belanda dalam hal ini adalah bahwa bangsa kita yang berjumlah 70 miliun jiwa setelah berabad ”dididik” oleh Belanda, pada 9 Maret 1942 diserahkan kepada militerisme Jepang di dalam segala-galanya tiada berdaya untuk menghadapi kekuasaan dan kekerasan serta tipu muslihat propaganda Jepang oleh karena rakyat kita belum pernah dipercayai bersenjata serta tidak pula dipercayai perlengkapan inteleknya yang cukup, untuk dapat menghadapi sendiri perputaran sejarah seperti terjadi pada tanggal 9 Maret 1942 itu.
Tetapi di dalam kesulitan yang sebesar-besarnya itu rakyat kita belajar membanding penjajahan Belanda dengan sebenarnya, segala kekurangan tak pernah terasa setajam dan sejelas, ketika rakyat kita ditinggalkannya dengan cara yang diperlihatkannya itu. Nyata benar kelemahan dan kekosongan perumahan penjajahan Belanda.
Maka pada saat itu timbullah pada rakyat kita kesadaran baru, perasaan kebangsaan yang lebih tajam daripada di waktu yang lalu. Perasaan itu dipertajam lagi oleh propaganda keasiaan Jepang. Kekerasan yang dilakukan Jepang tidak menghambat tumbuhnya kesadaran kebangsaan Indonesia. Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, seluruh negara serta perusahaan-perusahaan yang dahulu dipimpin oleh orang Belanda, dijalankan oleh orang Indonesia, diawasi oleh orang Jepang, yang biasanya nyata tidak cakap.
Di dalam kekejaman dan kekerasan penjajahan Jepang itu rakyat dan bangsa kita belajar menghargai dirinya sendiri mempertajam kesadaran kebangsaannya terhadap Jepang dan juga terhadap bangsa asing lainnya. Berjuta-juta jiwa rakyat kita melayang, serta seluruh bangsa sengsara selama tiga setengan tahun oleh karena kekejaman Jepang, akan tetapi juga oleh karena kesalahan Belanda yang mengurbankan kita kepada kekerasan Jepang itu dengan tidak memungkinkan kita mempunyai alat pertahanan yang diperlukan.
Oleh karena itu maka sebenarnya pihak Belanda pada batinnya tiada berhak untuk menyalahkan orang-orang yang diserahkan pada kekejaman Jepang itu, dengan tuduhan bekerja bersama dengan Jepang, sedangkan orang Belanda sendiri di dalam keadaan yang sama, umumnya lebih suka melayani Jepang. Selain daripada itu memang pula pembangunan perasaan kebangsaan kita itu ada juga yang merupakan perlawanan terhadap kekerasan Jepang, secara gelap dan juga pemberontakkan, sabotage dan lain-lain seperti dapat dibuktikan oleh ribuan orang gerakan kiri kita yang dihukum, disiksa, dibunuh dan diburu.
Buktinya adalah pemberontakkan di Tasikmalaya, di Indramayu, di Blitar, di Sumatera, di Borneo Barat dan lain-lain.
Sebagian lain dari kaum nasionalis kita yang menyelenggarakan kesadaran kebangsaan dengan jalan yang sah, terpaksa bekerja bersama dengan pihak jepang, ikut berbaris serta berteriak di dalam baris-barisan Jepang yang dibentuknya untuk keperluan perangnya.
Bagaimana kerasnya arus kebangsaan itu dapat pula dilihat pada golongan kaum nasionalis yang bekerja bersama dengan Jepang itu, yang selamanya mempertahankan cita-cita kekrakyatannya, meskipun dipaksa berbaris di dalam barisan totaliter Jepang. Hal ini dapat dibuktikan oleh Undang-Undang Dasar yang nyata benar dimaksudkan supaya berdasar kerakyatan, meskipun ia dirancang oleh mereka di dalam zaman penjajahan Jepang. Dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusuts 1945 kesadaran kebangsaan Indonesia memuncak menjadi kemauan bangsa yang bulat untuk mewujudkan kedaulatannya. Seluruh raklyat kita masuk tertarik ke dalam gelombang kebangsaan yang besar itu.
Penyerahan Jepang kepada Sekutu telah pula bermula. Bagi dunia, terutama bagi pihak yang telah mendirikan susunanUnited Nations di San Fransisco timbul soal bagaimana hendak menempatkan kedaulatan negeri Belanda yang diakuinya pada bangsa Indonesia yang telah menyatakan kedaulatannya sendiri.
Pada konperensi-konperensi internasional pihak Belanda selalu mengemukakan, bahwa bangsa Indonesia sangat cinta kepada pemerintah Belanda, yang katanya bukan pemerintah jajahan. Akan tetapi nyata sekarang pada dunia, bahwa jika Belanda hendak kembali menjadi pemerintah di Indonesia lebih dahulu kemauan rakyat Indonesia yang sekarang telah dua bulan lamanya dinyatakan pada dunia dengan berbagai jalan, harus dihancurkan dengan kekerasan, sehingga akan terjadi pengurbanan jiwa yang tak kecil jumlahnya. Nyata bahwa kedaulatan Belanda atas Indonesia tidak akan dapat diwujudka, jika tidak dengan memperkosa maksud perjanjian Atlantic Charter serta perjanjian United Nations di San Fransisco.
Sebenarnya pihak Belanda yang dengan begitu mudah menyerahkan nasib bangsa kita kepada kekerasan Jepang sekali-kalimoreel tiada berhak lagi untuk kembali begitu saja ke Indonesia, seolah-olah tiada terjadi apa-apa sejak tahun 1942, serta pula seakan-akan ia tidak bersalah apa-apa dan segala harus kembali menjadi keadaan sebelum pecah perang.
Kehendak Belanda ini bertentangan dengan segala perasaan keadilan dan jika dibenarkan tentu harus dijalankan dengan perkosa segala perasaan keadilan dan kemanusiaan. Menurut dasar-dasar Charter San Fransisco, maka negara yang diberi tanggungan atas bangsa yang belum merdeka itu, tidak mungkin menjalankan tanggung jawabnya dengan memperkosa dasar-dasar Charter United Nations, itu sendiri.
Lebih lagi terasa kepincangan kedadaan ini, jika dilihat bahwa pihak Belanda sama sekali tiada mempunyai tanggung jawab yang pantas terhadap kesulitan yang dihadapinya itu. Hingga sekarang belum sedikit juga ternyata. Bahwa yang dikehendaki oleh Belanda itu lain daripada pengembalian penjajahannya yang lama, meskipun ia mengumumkan keterangan Ratu Wihelmina yang diucapkan pada tahum 1942. Untuk memaksakan cara pemerintahan yang dimaksudkan oleh Belanda itu, ia tak mampu berbuat lain daripada mengharap akan dapat mempergunakan kekuatan militer Sekutu yang datang memperlucuti senjata Jepang di Indonesia, sebagai alat untuk dapat melemahkan atau menghancurkan kemauan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kedaulatannya sendiri terhadap pemerintahan yang hendak dipaksakan oleh pihak Belanda atas dirinya.
Akan tetapi, dengan semangat kebangsaan kita yang menyala-nyala, pasti pemerintahan Belanda itu meskipun memakai kekerasan militer yang moderen, tidak akan dapat memecah bangsa kita untuk mempunyai pemerintah yang dipilihnya sendiri.
Selama dunia tak mengetahui lain jalan untuk memenuhi kewajibannya terhadap anggapan kedaulatan Belanda atas Indonesia itu, daripada menghancurkan kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, selama itu pula dunia tentu tidak akan dapat manfaat yang semestinya dari kekayaan negeri dan bangsa Indonesia.
Kita mengetahui bahwa kedudukan nenegri kita meletakkan satu tanggung jawab yang besar di bahu kita terhadap keluarga dunia. Kita tidak membenci bangsa asing, juga tidak benci kepada bangsa Belanda, apalagi orang Indo, Ambon atau Menado yang sebenarnya bangsa kita juga. Malahan kita mengetahui dan mengerti benar bahwa untuk keperluan negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahun yang akan datang ini, kita akan memerlukan pertolongan bangsa Asing di dalam pembangunan negeri kita berupa kaum teknik, dan kaum terpelajar, pun juga kapital asing.
Di dalam memenuhi keperluan itu kita tidak akan menghindarkan kenyataan bahwa orang yang berbahasa Belanda yaitu orang Belanda, mungkin akan lebih banyak dipergunakan oleh karena mereka telah ada di sini dan lebih biasa akan keadaan di sini. Sehingga pelaksanaan kemerdekaan kita itu belum perlu berarti kerugian besar untuk pihak Belanda, jika diukur dengan orang atau jiwa, akan tetapi tentu sekali berarti perubahan yang sebesar-besarnya di dalam kedudukan politiknya.
Kita yakin bahwa tanah kita yang kaya-raya ini jika diusahakan dengan sesungguhnya untuk meninggikan derajat penghidupan bangsa kita serta dubia umumnya, akan masih banyak benar memberi ruangan untuk tenaga dari seluruh dunia, terutama dari Amerika Serikat, Australia dan Filipina, untuk turut dalam pembangunan negara dan bangsa kita.
Akan tetapi sekalian itu hanya akan dapat dimulai jikalau pertentangan kedaulatan antara Belanda dan kita dapat selesai dengan pengakuan hak kita untuk menentukan nasib kita sendiri, yaitu dengan pengakuan negara dan pemeintahan yang telah kita pilih. Bukan saja kita dan barangkali pihak Belanda berkepentingan dengan lekasnya terlaksana hal ini, akan tetapi seluruh dunia yang menunggu-nunggu sumbangan tanah bangsa Indonesia terhadap kekurangan yang ada di dunia sekarang.
Dengan pengakuan kemerdekaan kita, kita akan menanggung segala yang patut kita tanggung menurut kedudukan kita. Segala hutang Hindia Belanda sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita, kita akui sebagai hutang kita.
Segala milik bangsa asing selain daripada yang diperlukan oleh negara kita untuk diusahakan oleh negara sendiri, dikembalikan pada yang berhak, serta yang diambil oleh negara akan dibayar kerugiannya dengan seadil-adilnya.
Sejajar dengan usaha persahabatan kita dengan tetangga kita serta dengan seluruh dunia, kita tida saja akan berikhtiar menjadi suatu anggota United Nations menyetujui benar-benar maksud Charter United Nations, akan tetapi di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Eropa menjadi orang Indonesia sejati menjadi patriot dan demokrat Indonesia.
Sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita, cita-cita dan dasar kerakyatan itu bear-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan Undang-Undang Dasar kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat kita yang terbanyak.
Terhadap rakyat dan penduduk umumnya, kita akan menjalakna suatu rencana kemakmuran yang besar yang mungkin memerlukan banyak kredit dari luar negeri dan juga banyak hasil industri Amerika Serikat, Australia dan lain-lain negeri yang berdagang dengan negeri kita. Tiap-tiap penduduk ditanggung keselamatannya di dalam berusaha, jika tidak melanggar aturan negeri, meskipun, ia orang Belanda.
Bagi bangsa dan rakyat Belanda memang seharusnya menjadi pertimbangan yang sungguh-sungguh : apakah ia akan menurut nafsu segolongan kecil kaum kapital dan penjajah yang pemandangannya terutama dipengaruhi oleh kepentingan sendiri dan dengan itu akan mengurbankan beribu jiwa pemuda serta banyak tenaga bangsa Belanda, di dalam ikhtiar yang begitu besar resikonya, yaitu menaklukkan kembali bangsa Indonesia yang telah berdiri, atau apakah ia akan menerima dan menyesuaikan dirinya dengan perjalanan sejarah, mencari jalan damai supaya kepentingan dan keperluan bangsa Belanda yang begitu besar di Indonesia ini dapat diselenggarakan selanjutnya, supaya putera-puteranya dan keturunannya yang berada di sini dapat pula hidup dengan selamat di dalam usaha mencari nafkahnya.
Sukarno Tugas Seorang Pemimpin (1951)
Kutipan ini berasal dari pidato Presiden Sukarno di Yogyakata pada 17 September 1951, setelah menerima gelar doktor kehormatan yang diberikan oleh Universitas Gajah Mada. Diterbitkan sebagai Ilmu dan Amal di Yogyakarta, (Departmen Penerangan, 1951).
Saya dinamakan seorang pemimpin politik. Apakah kewajibanku? Kewajibanku, bahkan kewajibannya tiap-tiap pemimpin politik, bukanlah menghanyutkan diri dalam perenungan-perenungan teoritis, tetapi ialah: mengaktivir kepada perbuatan. Mengaktivir golongan yang ia pimpin, kepada perbuatan; mengaktivir kelas yang ia pimpin, kepada perbuatan; mengaktivir bangsa yang ia pimpin, kepada perbuatan. Kalau tidak untuk mengaktivir kepada perbuatan — buat apa orang menjadi pemimpin? Tetapi perbuatan adalah suatu akibat. Akibat daripada kemauan. Akibat daripada wil. Tiada perbuatan zonder kemauan, tiada perbuatan zonder wil, Dus: ”Menagktivir kepada perbuatan” berarti: harus mengaktivir lebih dahulu kepada wil. Dan jika kebenaran ini ditransformasikan kepada soal-soal yang mengenai perikehidupan masyarakat, maka ia berarti: harus mengaktivir lebih dahulu kepada collective wil. Menggugah, membangkitkan, menggerakkan, menghebatkan collective wil. Untuk apa? Untuk melahirkan collective daad; untuk mencapai collective daad. Itulah Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, starmin daripada segala perbuatan-perbuatanku sejak muda sampai seksrang. Itulah artinya trilogie yang saya dengungkan pada tahun 1932: nationalw geest — nationale wil —nationale daad. Orang lain menyusun wetenschap, mengupas, menganalisa, membongkar dan menghimpun teori — saya berbahagia kalau dapat mengerjakan bagian yang ditugaskan kepada saya, yaitu membangkitkan kepada amal, mengaktivir kepada daad! Dan sekali lagi saya katakan; untuk mengaktivir kepada daad, maka saya mencoba mengaktivir kepada wil, mengaktivir kepada collective wil – mencoba membangunkan, menghebatkan, bahkan kadang-kadang laksana ”membakar” kepada collective wil!
Banyak orang-orang yang kurang mengerti artinya kemauan (wil) dalam proses-proses historis. Bahkan ada orang-orang Marxis yang, karena pernah membaca Marx tidak mengakui adanya kemauan merdeka atau vrije wil, tetapi sebaliknya selalu menyebut ”kepastian-kepastian” atau ”Notwendigkeiten” dalam pertumbuhan masyarakat, lantas berkata bahwa kemauan manusia tidak ada artinya dalam proses-proses historis. Tetapi bagaimana keadaan yang sebenarnya? Keadaan sebenarnya ialah, bahwa kita harus membedakan secara tegas antara kemauan, dan kemauan merdeka. Baik falsafah idealis maupun falsafah historis-materialis (Marx) berkata, bahwa kemauan manusia adalah penting artinya dalam proses-proses historis. Marx benar membantah adanya kemauan merdeka, tetapi ia tidak pernah membantah artinya kemauan-an-sich. Bahkan tidak pernah ia membantah artinya persoonlijkheid , bahkan pernah menyebutkan ”die Riesenrolle der menschlichen Personlichkeit”.
Demikianlah, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya , saya melihat kemauan manusia itu sebagai motornya semua proses –proses historis. Ia adalah pokok pangkalnya, inti sebabnya semua kejadian-kejadian dalam masyarakat, ia menyerapi semua kejadian-kejadian dalam masyarakat. Yang dinamakan ”okonomische Notwendigkeit” atau ”historische Notwendigkeit”, atau Notwendigkeit apa pun dalam proses kehidupan manusia, bukanlah berarti tidak adanya kemauan manusia, – bukanlah berarti ”Willenlosigkeit”. Bukan ! ”Okonomische Notwendigkeit” atau ”historische Notwendigkeit´bersumber kepada Notwendigkeitnya tiap-tiap makhluk untuk mau hidup, Notwendigkeitnya wil-tot-leven, dan – sebagai akibat daripada itu – Notwendigkeitnya keharusan untuk mempergunakan keadaan-keadaan yang ada, agar supaya hidup.
Oleh karena itu, maka menurut anggapan saya, kewajiban tiap-tiap pemimpin Indonesia ialah mengaktivir kemauan manusia Indonesia, sampai kepuncak setinggi-tingginya. Zonder kemauan manusia tidak bisa ada kemauan nasional, zonder kemauan nasional tidak bisa ada perbuatan nasional.
Pemimpin harus mengaktivir kemauan massa untuk berjuang. Maka, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, sedari alam mudaku, hanya satu ambisi itulah menggelora di dalam kalbuku: mengaktivir nationale wil untuk berjuang, mengaktivir kemauan nasional untuk berjuang, ya ibarat hendak menggempakan himmah nasional untuk berjuang, agar supaya lahiriah perbuatan-perbuatan nasional, yang memang hanya perbuatan-perbuatanlah kunci pembuka pintu gerbang ke arah kebahagiaan.
Maka pertanyaan sekarang ialah: Dapatkah kemauan untuk berjuang diaktivir? Dapatkah strijdlust, stirjdwil, diaktivir? Dapatkah digerakkan dan dikerahkan kemauan berjuang pada sesuatu bangsa, hingga ia mau bergerak, mau membanting tulang, mau memeras keringat, mau berulet, mau berkurban, mau menderita, mau masuk lautan api, untuk mencapai sesuatu hal? Sejarah dunia membuktikan bahwa yang demikian itu dapat. Sejarah dunia tidak kosong dari adanya gerakan-gerakan nasional yang hebat, yang ya benar dilahirkan oleh faktor-faktor obyektif, tetapi yang massa-wilnya nyata diaktivir oleh pimpinan yang cakap.
Dari apakah tergantung besar kecilnya kemauan massa untuk berjuang?
Besar kecilnya kemauan massa untuk berjuang ditentukan oleh tiga hal. Pertama oleh menarik tidaknya tujuan atau cita-cita yang memanggil melambai massa itu untuk berjuang. Kedua oleh rasa mampu, rasa bisa, rasa sanggup di kalangan massa itu. Ketiga oleh tenaga yang sebenarnya ada di kalangan massa itu. Ketiga, oleh tenanga yang sebenarnya ada di kalangan massa itu. Dus pertama oleh apa yang dinamakan prijs; kedua oleh krachtsgevoel; ketiga oleh verkelijke kracht. Maka pemimpin yang cakap menggambarkan indahnya prijs-perjuangan kepada massa, pemimpin yang cakap membesar-besarkan rasa mampu di kalangan massa untuk mencapai prijs-perjuangan itu pemimpin yang cakap pula dengan riil menyusun tenaga massa yang sebenarnya untuk mencapai prijs-perjuangan itu, pemimpin yang demikian itulah dapat mengaktivir kemauannya massa untuk berjuang.
Tetapi, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, juga di sini saya hendak mengemukakan element perjuangan. Bangsa kita berkepribadian Pancasila tetapi itu belum berarti bahwa Pancasila telah menjelma wadag disegala bagian-bagian dan sudut-sudut masyarakat kita – telah gematerialiseerd di segala lapangan-lapangan hidup masyarakat kita! Ada orang yang berkata: Buat apa Pancasila, sedangkan masih banyak kemiskinan di kalangan masyarakat? Buat apa Pancasila, sedangkan perikemanusiaan masih sering dilanggar orang? Hai, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, adakah Christendom yang bersalah kalau masih banyak orang yang tidak Christelyk; Adakah Islam yang bersalah kalau belum semua ajarannya terselenggara? Adakah satu defect kepada Pancasila, kalau masih ada orang-orang Indonesia yang tiada ber-Tuhan, kalau masih ada perpecahan dan provincialisme, kalau masih ada orang-orang yang kejam pada sesama manusia dan nasional-chauvinis, kalau masih belum berjalan sempurna kedaulatan rakyat, kalau masih ada kemiskinan dan kemelaratan?
Tidak, salahnya ialah bahwa kita, juga dalam hal Pancasila ini, melupakan elemen perjuangan. Juga dalam hal Pancasila ini orang harus berpikir dalam istilah geest-wil-daad! Bangsa Indonesia harus berjuang terus, berjuang dalam arti luas, berjuang terutama dalam arti membangun – membangun material dan membangun moral – agar supaya toon-hidupnya yang bernama Pancasila itu benar-benar menjelma wadag di atas segala lapangan hidupnya. Sebab, sebagaimana tiap-tiap individu dilingkupi oleh keadaan-keadaan yang mempengaruhi dan menentukan hidup jasmani individu itu, maka bangsa pun dilingkupi oleh keadaan-keadaan yang mempengaruhi dan menentukan hidupnya bangsa itu. Perjuangan inidividu ialah perjuangan yang mempergunakan atau mengalahkan keadaan agar supaya Zijn-nya (luar-dalam) tumbuh dan berkembang, maka perjuangan bangsa pun harus perjuangan mempergunakan atau mengalahkan keadaan agar supaya Zijn-nya (luar-dalam) tumbuh dan berkembang

Tidak ada komentar: